Darussalam, B. Bawono Kristiaji dan Hiyashinta Klise[1]
1. | PendahuluanApa yang membuat suatu sistem pajak di suatu negara dianggap lebih efisien dari sistem pajak negara lain? Menurut Kaldor, ketentuan atau peraturan perpajakan yang sesuai saja tidaklah cukup atau mungkin justru tidak berpengaruh banyak. Hal yang lebih menentukan justru terletak pada seberapa efektif dan efisien administrasi pajak di suatu negara.[2] Lalu apa yang dimaksud dengan administrasi perpajakan? Administrasi perpajakan tidak dapat dilepaskan dari segala ketentuan hukum pajak, karena administrasi pajak merupakan kaitan antara ketentuan hukum perpajakan dan bagaimana sistem pajak dapat bekerja. [3] Dengan kata lain, administrasi pajak berfungsi untuk mengimplementasikan dan menegakkan hukum pajak berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang perpajakan.[4] Oleh karena itu, administrasi perpajakan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan segala manajemen atau sistem kerja dalam pelaksanaan ketentuan hukum pajak, mulai dari memungut pajak, pemberian sanksi, dan sebagainya. Segala upaya untuk melakukan administrasi perpajakan di suatu negara pada umumnya diletakkan pada suatu badan/lembaga (otoritas pajak) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, yang bertindak sebagai administrator pajak yang bertugas untuk memfasilitasi sekaligus mendorong kepatuhan Wajib Pajak terhadap ketentuan perpajakan.[5] Dengan demikian, segala sesuatu hal yang terkait dengan keberhasilan administrasi pajak sangat dipengaruhi pada seberapa baik performa otoritas pajaknya. Berhasil atau tidaknya ketentuan perpajakan maupun seberapa efisien atau tidaknya sistem perpajakan, suka atau tidak, ditentukan oleh lembaga otoritas pajak. Dewasa ini, model otoritas pajak yang berada dalam garis struktur tradisional (direktorat di bawah Kementerian Keuangan) semakin banyak ditinggalkan. Tren memisahkan administrasi pajak dari Kementerian Keuangan mulai berkembang, terutama pada dua dekade terakhir. Berbagai negara telah membentuk atau mentransformasi lembaga otoritas pajak menjadi sebuah lembaga yang lebih otonom sehingga dikenal dengan nama otoritas pajak yang semi-otonom (Semi-Autonomous Revenue Authority, selanjutnya disebut SARA).[6] Argumentasi utama dari ide perubahan tersebut berangkat dari tujuan yang bermuara pada kebutuhan atas kecukupan penerimaan yang berkesinambungan, perbaikan pelayanan, serta perbaikan tata kelola pemerintahan di sektor pajak. Namun, apakah SARA dapat menjamin tercapainya tujuan-tujuan tersebut? Lebih lanjut lagi, sejauh mana ide mengenai pemisahan otoritas pajak dari struktur lembaga Kementerian Keuangan perlu untuk dipertimbangkan dan sesuai dengan konteks di Indonesia? Tulisan ini akan menjawab hal-hal tersebut, dengan sebelumnya mengkaji mengenai karakteristik serta keunggulan dan kelemahan SARA terutama jika melihat pengalaman di negara lain. | ||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Pentingnya Kerangka Kelembagaan dalam Reformasi PerpajakanKebutuhan peningkatan efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan dilatarbelakangi oleh tuntutan untuk meningkatkan penerimaan pajak guna menopang pembangunan ekonomi.[7] Walau demikian, banyak dari negara-negara di dunia (terutama negara-negara berkembang) sulit untuk memenuhinya, karena kapasitas administrasi mereka yang masih rendah. Beberapa otoritas pajak bahkan tidak memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai, untuk menjalankan fungsi dasar pemungutan pajak seperti: pencatatan pajak, memproses pengembalian pajak, penilaian kewajiban perpajakan dan memungut pajak.[8] Hal ini masih diperburuk dengan adanya otoritas pajak yang berada dalam kerangka pemerintahan yang lemah, di mana terdapat praktik-praktik korupsi dan campur tangan politik sehingga menimbulkan adanya tax gap.[9] Pada umumnya, pemerintah di berbagai negara berusaha meminimalkan tax gap dengan reformasi perpajakan. Sayangnya, banyak dari reformasi perpajakan di berbagai negara justru gagal karena reformasi dilakukan tanpa adanya reorganisasi administrasi pajak secara permanen dan perbaikan manajemen di dalam otoritas pajak.[10] Hal ini membuktikan bahwa kelembagaan memainkan peranan yang penting dalam proses reformasi perpajakan. Apalagi, dalam kenyataannya hukum atau kebijakan pajak hanya dapat berfungsi dengan baik selama administrasi pajak yang baik tersedia.[11] Dari perspektif keilmuan kebijakan publik, manajemen, hingga ilmu ekonomi, aspek kelembagaan dianggap sebagai kerangka yang mengatur apa dan bagaimana fungsi ataupun interaksi antaragen dalam arena terkait. Lebih lanjut, kelembagaan dapat merumuskan sistem yang dapat menjamin pengorganisasian agar setiap agen bekerja secara optimal dan tidak melenceng dari koridor yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika reformasi pajak di berbagai negara mencakup kelembagaan administrasi perpajakan itu sendiri dengan mencari bentuk otoritas pajak yang paling ideal. Sehingga atas kenyataan tersebut, perubahan yang radikal pada otoritas pajak disarankan[12] termasuk membuat lembaga otoritas pajak menjadi sebuah lembaga yang lebih otonom dengan menjalankan sistem administrasi pajaknya secara professional seperti layaknya perusahaan. Perubahan ini tidaklah mudah. Menurut Jenkins, halangan utama dari perubahan suatu administrasi perpajakan terletak pada kedudukannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari pelayanan publik secara umum. Hal ini menciptakan situasi rendahnya tingkat upah, kualifikasi staf yang lemah, pengangkatan staf atau pejabat tergantung dari kedekatan politik, dan sebagainya. Seluruh hal tersebut menciptakan rendahnya kepatuhan pajak. Oleh karena itu otoritas pajak harus direstrukturisasi sehingga mendapatkan suatu kemandirian yang hampir serupa dengan bank sentral. Usulan atas perubahan kerangka kelembagaan administrasi yang baik paling tidak harus memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, memiliki independensi keuangan, artinya lembaga atau badan baru tersebut dapat mengalokasikan anggaran yang sesuai, yang mana sebagian anggaran tersebut dapat dipergunakan untuk insentif atau perbaikan teknologi informasi. Kedua, lembaga/badan baru tersebut diberikan kewenangan administratif yang otonom serta dapat merumuskan kebijakan dan tujuan administrasinya. Terakhir, lembaga/badan baru tersebut harus bertanggungjawab untuk mengelola sumber daya manusia secara internal. Hal ini dapat dilakukan lewat sistem penggajian, rekrutmen, pelatihan, hingga merumuskan kode etik internalnya.[13] | ||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Jenis Kelembagaan Administrasi PerpajakanLalu, bagaimana bentuk ideal modernisasi kelembagaan administrasi perpajakan? Sebelum lebih jauh mengkaji hal tersebut, penting untuk mengetahui terlebih dahulu variasi kerangka kelembagaan administrasi pajak yang secara umum sudah dikenal. Ditinjau dari derajat hubungan otoritas pajak dengan Kementerian Keuangan (atau organisasi terkait lainnya yang mengurus segala sesuatu tentang sektor fiskal dan kebijakan ekonomi), terdapat empat variasi utama kerangka kelembagaan. Keempat variasi ini merefleksikan perbedaan mendasar mengenai struktur politik maupun sistem administrasi publik di berbagai negara. Keempat variasi tersebut adalah:.[14]
Keempat variasi tersebut dapat disederhanakan hanya menjadi dua tipe: otoritas pajak yang berada di bawah struktur organisasi Kementerian Keuangan dan otoritas pajak yang memiliki otonomi yang lebih luas. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari suatu spektrum yang memperlihatkan derajat kontrol pemerintah dalam setiap jenis lembaga pemerintahan nasional pada Gambar 1. Pada Gambar 1, dapat dilihat semakin besarnya derajat sifat otonom masing-masing kerangka kelembagaan yang berjalan seiring dengan berkurangnya intervensi pemerintah. Otoritas pajak di berbagai negara pada umumnya hanya berada di area departemen tradisional (misalkan Prancis, Kamboja, Indonesia, dan sebagainya) dan otoritas pajak yang semi-otonom (misalkan Kenya, Hong Kong, Amerika Serikat, dan sebagainya). Sedangkan bank sentral, badan usaha milik negara, dan lembaga yang telah diprivatisasi memiliki derajat kemandirian (otonomi) yang lebih besar dan tidak ada satupun otoritas pajak yang berada dalam karakterisasi tersebut. Otoritas pajak harus tetap menjadi semi-otonom karena kekuasaan dan kewenangan dari otoritas pajak tidak dapat terlalu jauh dapat dipisahkan dari kontrol dan akuntabilitas dari pemerintah yang terpilih. Sehingga otoritas pajak tersebut akan selalu menjadi institusi publik. Sumber: William Crandall, “Revenue Administration: Autonomy in Tax Administration and the Revenue Authority Model,” IMF, (Juni 2010): 4. SARA adalah terminologi yang merujuk kepada kerangka kelembagaan dan tata kelola pemerintahan bagi organisasi yang terlibat dalam administrasi penerimaan, di mana kerangka tersebut memberikan suatu otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan departemen/direktorat dalam Kementerian.[15] Pada dasarnya, kata “otonom” dapat diartikan sebagai kemandirian atau pemerintahan sendiri. Dalam konteks administrasi publik, otonom(i) biasanya mengacu pada sejauh mana suatu badan atau lembaga pemerintahan mampu beroperasi secara independen dari kerangka pemerintahan secara umum, baik dalam bentuk hukum dan status, pendanaan dan anggaran, keuangan, sumber daya manusia, serta aspek administrasi.[16] Sebagai lembaga yang otonom dan berdiri sendiri, SARA diharapkan dapat lebih fokus dalam menjalankan tugasnya, dapat mengelola urusannya secara efektif, bebas dari intervensi politik dalam kegiatan sehari-harinya, serta dapat menjalankan strategi pengelolaan sumbar daya manusianya (SDM) secara independen (mulai dari perekrutan, mempertahankan, memberhentikan, sampai memotivasi SDM).[17] Lalu sejauh mana perbedaan derajat otonomi antara model SARA dan direktorat? Pada tahun 2012, OECD telah melakukan survei mengenai lembaga administrasi perpajakan di 47 negara, baik yang tergabung atau di luar OECD. Dari survei tersebut, terlihat bahwa berbagai kewenangan yang berkaitan dengan fungsi administrasi perpajakan ternyata lebih banyak diberikan jika lembaga tersebut mengadopsi model SARA dan bukan model direktorat/departemen di bawah Kementerian Keuangan. Sebagai contoh, terdapat 77% model SARA di berbagai negara diberikan kewenangan untuk menegosiasi tingkat gaji. Kewenangan yang sama hanya dimiliki 25% dari model direktorat di berbagai negara. Selain itu, perlu untuk diperhatikan bahwa pendelegasian fungsi-fungsi atau pendelegasian kewenangan atas berbagai hal pada dasarnya dapat diberikan baik jika otoritas pajak tersebut menganut model SARA maupun direktorat dalam Kementerian Keuangan. Jadi, isu yang lebih penting bukanlah kedudukan otoritas pajak tersebut, namun (derajat) kewenangan apa yang bisa diberikan.[18] Penting untuk dicatat, bahwa pada saat membangun kelembagaan administrasi perpajakan setiap pemerintahan dapat merumuskan fungsi-fungsi apa yang akan didelegasikan kepada lembaga tersebut. Variasi tersebut akhirnya menentukan otonomi, akuntabilitas, dan karakteristik kelembagaan yang dianut. Walau demikian, telah menjadi suatu postulat bahwa bentuk model direktorat tidak banyak memiliki suatu otonomi yang besar, terutama karena sifat direktorat yang masih tunduk pada kerangka umum administrasi kementerian, termasuk di dalamnya masalah kepegawaian, pengadaan barang dan jasa, hingga sistem teknologi informasi. Dengan demikian, model SARA diacu karena dimungkinkannya suatu kreasi pengorganisasian yang modern, fleksibilitas administrasi internal, dan sebagainya. Dengan demikian, hal ini menjelaskan mengapa kewenangan yang berkaitan dengan fungsi administrasi pajak lebih banyak diberikan jika otoritas pajak menganut model SARA. Gambar 2 – Perbedaan Kewenangan yang Dimiliki dalam Model SARA dan Direktorat Kementerian Keuangan di Berbagai Negara Catatan: survei diadakan di 47 negara, dengan 31 negara menganut SARA dan 16 negara menganut model direktorat dalam KemenKeu. Nilai persentase menunjukkan banyaknya otoritas yang memiliki kewenangan terkait. Sumber: OECD Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies (Paris: OECD Publishing, 2013), 30 Selain itu, dimungkinkannya kebebasan dalam pendelegasian fungsi dan kewenangan juga telah menciptakan berbagai variasi model SARA. Akibatnya, model SARA di satu negara bisa jadi lebih otonom daripada model SARA di negara lain. Sebagai contoh, SARA di Kenya dan Peru dianggap memiliki otonomi yang lebih besar daripada SARA di Meksiko.[19] Bentuk SARA di beberapa negara juga seringkali tidaklah final namun mengikuti kebutuhan fiskal antarwaktu. | ||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Argumen atas Otoritas Pajak yang Semi-Otonom (Semi-Autonomous Revenue Authority/SARA) Telah dijelaskan sebelumnya bahwa mengubah suatu kedudukan dan kerangka kelembagaan administrasi perpajakan merupakan salah satu bentuk reformasi pajak secara total. Totalitas tersebut biasanya berangkat dari ketidakmampuan reformasi perpajakan yang hanya bersifat parsial dan hanya menyangkut kebijakan perpajakan. Dengan kata lain, merekonstruksi kelembagaan administrasi perpajakan seringkali merupakan buah dari frustasinya penyelenggara negara atas ketidakmampuannya memperbaiki kinerja pajak.[20] Argumentasi mengenai pentingnya mengadopsi SARA di berbagai negara biasanya berkisar pada kebutuhan atas upaya meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak (lihat Tabel 1). Dari studi yang dilakukan oleh Kidd dan Crandall (2006) di 17 negara yang menganut model SARA, terlihat bahwa alasan atas lemahnya efektivitas administrasi perpajakan dan rendahnya kepatuhan menjadi hal yang utama (ranking: 1,80). Selain itu, argumen mengenai kebutuhan atas hal yang dapat memicu cepatnya keberhasilan reformasi administrasi perpajakan yang lebih luas menjadi alasan tertinggi berikutnya. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Dalam suatu kerangka kelembagaan yang baru moral staf/pegawai biasanya lebih tinggi. Selain itu, budaya organisasi yang baru dapat melepaskan dari bayang-bayang kebobrokan lembaga yang sebelumnya. Hal ini juga sesuai dengan argumen Delay, Devas, dan Hubbard (1999), bahwa hal yang tidak kalah penting adalah adanya suatu pencitraan mengenai “babak baru” yang menjanjikan dari perubahan kelembagaan.[21] Alasan berikutnya, terletak pada terbenturnya suatu upaya untuk memperbaiki kebijakan kepegawaian otoritas pajak dengan suatu kerangka administrasi pegawai publik secara umum (2,90). Selain itu, alasan mengenai lemahnya komunikasi dan koordinasi antarunit yang berkaitan dengan penerimaan hingga tingginya angka korupsi juga menjadi alasan-alasan diimplementasikannya SARA di berbagai negara. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 – Alasan Diimplementasikannya SARA di Berbagai Negara Catatan: 17 negara responden yang telah mengadopsi SARA, misalkan: Meksiko, Kenya, Kanada, Tanzania, Italia, dan sebagainya. Semakin besar angka ranking, maka semakin alasan tersebut kurang menjadi alasan utama diadopsinya SARA. Sumber: Maureen Kidd dan William Crandall, Revenue Authorities: Issues and Problems in Evaluating Their Success, IMF Working Paper WP/06/240, 2006. | ||||||||||||||||||||||||||||||
Diadopsinya model SARA dalam kelembagaan administrasi perpajakan bermuara pada dua hal: efektivitas dan efisiensi.[22] Hal serupa diungkapkan Christian von Haldenwang, Armin von Schiller, dan Melody Garcia[23] bahwa dibandingkan dengan skema kelembagaan tradisional, SARA memiliki efek positif berkelanjutan pada penerimaan negara. Hal ini disebabkan karena SARA mampu menjalankan fungsi dasar pemungutan pajak lebih baik daripada model otoritas pajak tradisional. Secara detail, berikut merupakan manfaat dari dibentuknya SARA:[24] | |||||||||||||||||||||||||||||||
Gambar 3 – Desain Kelembagaan Administrasi Perpajakan: Manfaat dari SARA Sumber: diolah oleh penulis Walau demikian, beberapa pihak juga berpendapat bahwa SARA justru dapat memberikan implikasi yang buruk. Beberapa di antaranya adalah:[26]
| |||||||||||||||||||||||||||||||
Pro dan kontra atas manfaat SARA pada dasarnya dapat dilihat melalui pengalaman di berbagai negara. Sayangnya, literatur mengenai pro dan kontra keberhasilan SARA dalam meningkatkan kinerja perpajakan jumlahnya tidak cukup banyak. Sebagian besar literatur yang ada berupaya merumuskan indikator-indikator yang sekiranya tepat untuk mengevaluasi kinerja perpajakan sebelum dan sesudah implementasi model SARA. Indikator yang dipergunakan dalam evaluasi tersebut pada umumnya masih memiliki kelemahan dalam mengukur secara kuantitatif implikasi diadopsinya SARA, terutama ketika hal yang hendak diukur berupa kinerja kepegawaian, kultur, korupsi pajak, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika studi mengenai evaluasi dampak dari SARA biasanya berupa survei mengenai persepsi publik atau cenderung disederhanakan sebatas pada angka penerimaan pajak semata.[27] | |||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Karakteristik SARA Berikut merupakan karakteristik SARA yang diterapkan di negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia Pasifik:[28] | ||||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pengalaman Implementasi SARA di Peru Pada tahun 1988, lewat UU No. 24829, Peru membentuk Superintendencia Nacional de Administracion Tributaria (SUNAT). SUNAT merupakan institusi publik yang terdesentralisasi dengan status fungsional, ekonomi, finansial, dan administratif yang otonom.[32] SUNAT dibentuk dengan fungsi merumuskan kebijakan, manajerial administrasi internal, pemeriksaan, dan cara pemungutan pajak. Selain itu, SUNAT juga memiliki kewenangan untuk mengajukan rumusan ketentuan perpajakan. SUNAT dibentuk atas adanya kebutuhan untuk mereformasi secara drastis administrasi pajak (di luar bea cukai). Reformasi tersebut diperlukan untuk membenahi kondisi lembaga administrasi pajak (General Departement of Contribution yang berada di dalam Kementrian Keuangan) yang saat itu sedang terpuruk, memiliki kinerja yang buruk, kelebihan pegawai, dan korupsi. SUNAT baru diimplementasikan pada tahun 1990-1991, karena sempat terhalang oleh kekacauan kondisi ekonomi dan politik di Peru (sekitar tahun 1985-1990). Pada awalnya, SUNAT hanya menjalankan administrasi pemungutan PPh, PPN dan cukai.[33] Namun, kini hampir seluruh jenis pajak kecuali untuk komponen pajak jaminan social (social security contribution) berada dalam wilayah kewenangan SUNAT. SUNAT diberikan otonomi untuk menetapkan sendiri sistem kepegawaiannya, dengan upah pegawai yang jauh lebih besar dari rata-rata pegawai negeri sipil lainnya. Semua posisi di SUNAT ditawarkan kepada karyawan lama dan masyarakat luas dengan proses seleksi yang ketat dan kompetitif. Atas adanya pesangon dan tunjangan pensiun yang tinggi, staf administrasi pajak dari lembaga sebelumnya berhasil dikurangi sebanyak seperempatnya. Berbeda dengan SARA pada banyak negara, SUNAT tidak memiliki Dewan Direksi (BOD). SUNAT dikelola oleh Komite Administrasi (Comitéde Alta Direccion) yang terdiri dari Inspektur, Deputi Inspektur, dan para kepala dari berbagai fungsional yang mandiri di dalam struktur organisasi. Selain itu, stabilitas dana untuk lembaga juga terjamin. Sumber dana SUNAT berasal dari 2% atas hasil pemungutan pajak, 25% lelang properti dan 0.2% dari pendapatan non-treasury. Singkatnya, pada akhir 1992 administrasi pajak Peru telah dirombak total, termasuk elemen penting di dalamnya seperti pembentukan struktur organisasi baru, teknologi informasi (TI), sistem kepegawaian, membentuk struktur kepemimpinan menjadi lebih kuat, dan perolehan dukungan politik. Dalam kasus Peru, jika tidak terdapat transformasi kelembagaan menjadi SUNAT, reformasi besar-besaran seperti itu tidak akan mungkin terjadi dalam waktu yang singkat. Reformasi SUNAT membawa dampak yang positif bagi penerimaan pajak di Peru. Secara keseluruhan rasio penerimaan pajak Peru naik, meskipun tidak terlalu cepat dan dramatis. Keseluruhan rasio pajak (di luar social security contribution) meningkat dari 11,99% di tahun 1992 (tahun awal beroperasinya SUNAT secara penuh) sampai 14,24% di tahun 1997. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan politik yang kuat dari Kantor Kepresidenan dan Kementerian Keuangan. Produktivitas PPN dan tingkat kepatuhan PPN juga naik secara substansial. Kedua hal ini penting, mengingat lebih dari sepertiga keseluruhan pendapatan pajak pemerintah pusat di Peru berasal dari PPN. Pada Gambar 4, terlihat bahwa tingkat produktivitas PPN meningkat dari 11,00% di tahun 1990 menjadi 36,73% di tahun 2003.[34] Tingkat kepatuhan PPN meningkat dari 10,83% di tahun 1990 menjadi 35,20% di tahun 2003. Jumlah Wajib Pajak (WP) yang terdaftar meningkat dari 895 ribu di tahun 1993 menjadi 1,8 juta di akhir tahun 1997 atau meningkat lebih dari 2 kali lipat. | ||||||||||||||||||||||||||||||
| Gambar 4 – Tingkat Produktivitas dan Kepatuhan atas Pajak Pertambahan Nilai di Peru, 1990 – 2003 Sumber: dikutip dari Arthur Mann, Are Semi-Autonomous Revenue Authorities the Answer to Tax Administration Problems in Developing Countries? A Practical Guide, USAID Review for Fiscal Reform in Support of Trade Liberalization project, (2004): 72 dan 73. Lalu bagaimana dengan dampak implementasi SARA pada pelayanan dan tingkat korupsi pajak? Penelitian yang dilakukan oleh Taliercio (2001)[35] atas Peru dan 3 negara lain di kawasan Amerika (Meksiko, Venezuela, Bolivia) menunjukkan bahwa implementasi SARA di Peru dapat secara efektif menurunkan tingkat korupsi dan di sisi lain memperbaiki pelayanan administrasi pajak.[36] Peru menunjukkan hasil yang baik dalam penurunan tingkat korupsi dan peningkatan pelayanan publik, sedangkan tiga negara lainnya, tidak ada perubahan tingkat korupsi, walaupun dari sisi pelayanan menunjukkan perubahan ke arah (sedikit) lebih baik (Gambar 5 dan 6). Taliercio juga berpendapat bahwa dukungan dari sektor swasta (komunitas bisnis dan akademisi) turut memengaruhi penurunan tingkat korupsi dan peningkatan pelayanan publik karena dukungan tersebut berhasil mempertahankan otonomi otoritas pajak di Peru dari pengaruh pemerintah. Singkatnya, Peru merupakan contoh sukses dari implementasi SARA. Gambar 5 – Opini Mengenai Apakah Korupsi pada Pegawai Pajak Justru Lebih Baik atau Buruk Setelah Reformasi Perpajakan: Peru dan Kawasan
Sumber: Diolah dari penelitian Taliercio seperti dikutip oleh Rosario G. Manasan, “Tax Administration Reform: (Semi-) Autonomous Revenue Authority Anyone?,” Discussion Paper Series No. 2003-05, Philippine Institute for Development Studies, (2003): 6. Gambar 6 – Opini Mengenai Apakah Kualitas Pelayanan oleh Otoritas Pajak Lebih Baik atau Lebih Buruk Setelah Reformasi Perpajakan: Peru dan Kawasan Sumber: Diolah dari penelitian Taliercio seperti dikutip oleh Rosario G. Manasan, “Tax Administration Reform: (Semi-) Autonomous Revenue Authority Anyone?,” Discussion Paper Series No. 2003-05, Philippine Institute for Development Studies, (2003): 6. | ||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Perlukah Re-Desain Kelembagaan Administrasi Perpajakan Kita? Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah Indonesia perlu mengadopsi model SARA bagi otoritas pajaknya? Jawaban atas hal ini tidak mudah karena harus ditelusuri dari apa yang menjadi tujuan dan kebutuhan pemerintah di sektor perpajakan serta sejauh mana SARA dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut. Di banyak negara, SARA sering kali berangkat dari situasi perpajakan yang sudah cukup kronis. Kronis dalam artian, ketika kebutuhan penerimaan pajak tinggi namun justru faktor kelembagaan sudah sedemikian buruk untuk mencapai hal tersebut. Dengan demikian, segala kebijakan maupun improvisasi administrasi perpajakan yang bersifat parsial tidak akan berpengaruh apa-apa. SARA didorong atas situasi putus asa dari penyelenggara negara yang kemudian berinisiatif untuk merombak kelembagaan pemungutan pajak secara total dan komprehensif. Perombakan ini merupakan upaya untuk mendapatkan suatu kondisi “babak baru” serta sinyalemen politik atas upaya perbaikan administrasi perpajakan. Di Indonesia situasi yang dapat dianggap kronis tersebut sebenarnya tidak terjadi. Kita seharusnya masih tetap optimis dengan segala reformasi pajak yang telah berlangsung selama satu dekade terakhir. Kisah sukses mengenai Kring Pajak, dibangunnya Large Tax Officer (LTO), terus meningkatnya realisasi penerimaan pajak, hingga interaktifnya situs DJP menunjukkan bukti-bukti tersebut. Jadi, jika tren perbaikan tersebut sudah menunjukkan arah yang positif, apakah ide mengenai SARA perlu untuk dipertahankan? Jawabannya: ya. Fakta bahwa dalam 11 tahun terakhir, DJP hanya mampu 2 kali mencapai target penerimaan pajaknya penting untuk dicermati.[37] Memang betul bahwa hingga saat ini tidak diketahui dengan pasti bagaimana target penerimaan pajak ditentukan, sehingga proyeksi yang dilakukan semata-mata hanya mengacu pada proses pembicaraan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saja. Namun, di sisi lain hal ini mengindikasikan adanya kelemahan kapasitas administrasi perpajakan. Selain itu, kajian empiris yang dilakukan oleh Taliercio (2004) memberikan suatu temuan penting, yakni semakin otonom otoritas pajak maka biaya memungut pajak (collection cost) memiliki kecenderungan yang semakin mengecil atau semakin efisien. Lebih lanjut lagi, semakin stabilnya otonomi tersebut juga akan menciptakan kinerja perpajakan yang semakin membaik pula. Hal ini dikarenakan adanya suatu delegasi kewenangan yang lebih besar kepada pimpinan otoritas pajak dapat mempercepat reformasi perpajakan secara berkesinambungan.[38] Dengan demikian, ide mengenai SARA hendaknya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Pertanyaan berikutnya, perlukah DJP terpisah dari Kementerian Keuangan? Jawabannya: ya. Kebutuhan untuk memiliki administrasi perpajakan yang efektif dan efisien dapat diwujudkan dengan diberikannya kewenangan (otonomi) yang lebih luas bagi DJP, terutama pada hal-hal seperti kebijakan kepegawaian, alokasi anggaran, dan pengorganisasian. Di beberapa negara lain, otonomi yang lebih luas tidak secara otomatis diartikan sebagai pemisahan otoritas (direktorat) pajak dari lembaga Kementerian Keuangan. Namun, di Indonesia kelembagaan yang semi-otonom (SARA) di bawah struktur kementerian tidak dapat dimungkinkan karena benturan dengan berbagai ketentuan administrasi pemerintahan secara umum. Satu-satunya pilihan yang memungkinkan otonomi tersebut hanya dengan cara memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan. Dipisahkannya DJP dari Kementerian Keuangan juga dapat dilakukan bersamaan dengan pembentukan suatu badan baru yang berfungsi sebagai administrasi penerimaan negara. Badan baru tersebut merupakan gabungan dari DJP dan Ditjen Bea dan Cukai. Walau demikian, pemisahan tersebut harus dilakukan dengan beberapa syarat, seperti: mekanisme akuntabilitas yang jelas, pembatasan kekuasan untuk pengenaan pajak, hingga komitmen politik yang berkesinambungan. Ide mengenai terpisahnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan dapat berangkat dari argumen agar masing-masing lembaga dapat fokus menjalankan tugasnya. Kementerian Keuangan fokus kepada kebijakan pembangunan ekonomi makro, anggaran, perbendaharaan, dan tugas-tugas lainnya seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Sedangkan otoritas pajak akan fokus pada penerimaan pajak, sebagai sektor vital penerimaan negara yang potensinya belum banyak digali dan dioptimalkan.[39] Dalam upaya memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, basis data yang komprehensif mengenai informasi-informasi potensi pajak sangat diperlukan. Saat ini, upaya membangun database mengenai potensi pajak terbentur oleh terpecah-pecahnya lembaga yang bertanggung jawab pada penerimaan negara walau masih di bawah Kementerian Keuangan, yakni DJP dan Ditjen Bea Cukai. Terfragmentasinya direktorat penerimaan tersebut mengakibatkan informasi mengenai potensi pajak menjadi tidak komprehensif dan tidak terintegrasi. Koordinasi antarlembaga menjadi sulit dilakukan. Dari sudut pandang ini, ide untuk menggabungkan direktorat-direktorat tersebut di dalam suatu SARA perlu untuk dipertimbangkan.[40] Lebih lanjut lagi, dengan kedudukan lebih tinggi (misalkan bertanggung jawab langsung kepada Presiden), badan baru tersebut dapat memiliki otoritas yang lebih untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga negara lainnya untuk memperoleh informasi mengenai potensi pajak. Dengan kedudukan yang lebih tinggi tersebut pengelolaan administrasi serta implementasi kebijakan menjadi tidak berbelit-belit (debirokratisasi) sehingga dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan efektif. Berubahnya lanskap ekonomi, khususnya arena perpajakan secara cepat juga membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu beradaptasi dengan arah perubahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa otoritas pajak membutuhkan staf professional yang ahli. Hal ini bisa diatasi secara cepat jika DJP memiliki kewenangan untuk mengangkat profesional yang mampu menjawab tantangan tersebut. Jika memang akhirnya SARA diimplementasikan untuk menggantikan peran DJP dan Ditjen Bea dan Cukai, maka paling tidak terdapat beberapa hal penting yang perlu untuk dipertimbangkan. | ||||||||||||||||||||||||||||||
Kepemimpinan Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 model kepemimpinan dalam SARA yaitu: CEO dan BOD. Dalam kasus Indonesia, akan lebih baik jika SARA tersebut dapat dipimpin oleh dewan direksi (BOD) karena adanya keterwakilan dari sektor publik (baik dari sektor bisnis, praktisi pajak, hingga akademisi). Keterwakilan tersebut akan merepresentasikan aspek demokrasi dalam administrasi perpajakan, sehingga segala keputusan atau kebijakan administrasi paling tidak memperhatikan aspek yang tidak diskriminatif. Politik Ekonomi Perpajakan Persoalan komitmen politik juga sangat menentukan keberhasilan implementasi SARA di Indonesia. Pengalaman di Bolivia, Meksiko, dan Venezuela menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh lembaga model SARA adalah politik (upaya kekuasaan) pemerintahan itu sendiri. Seringkali sifat otonom dalam hal manajemen sumber daya manusia dan pengupahan menyebabkan konflik dan kecemburuan dari lembaga lainnya. Selain itu, campur tangan eksekutif (Presiden) juga memengaruhi. Dukungan dari Presiden sangat penting dalam keberhasilan awal SARA di negara-negara Amerika Latin tersebut. Contoh jelasnya, pada tahun 1998 Presiden Caldera di Venezuela ingin membentuk koalisi politik baru dengan kesepakatan untuk merestorasi kontrol kementerian atas otoritas pajak yang sebelumnya sudah bertransformasi menjadi model SARA.[41] Oleh karena itu, jika SARA akan diimplementasikan di Indonesia, penting untuk tersedianya konsensus dari seluruh elemen politik untuk menjaga sifat otonomi dari otoritas pajak di kemudian hari. Pembatasan Kekuasaan Adanya otonomi yang semakin besar juga dapat menciptakan adanya entitas super yang sulit untuk dikontrol. Pertama-tama, diperlukan pemahaman bahwa dalam suatu negara yang demokratis dan berdasarkan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh bersifat tidak terbatas,[42] atau dengan kata lain kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limits on the taxing power) melalui undang-undang.[43] Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan adalah: peraturan pemajakan yang seperti apakah yang boleh didelegasikan kepada pemerintah dan manakah yang harus tetap berada di ranah legislatif (DPR)? Seperti kita ketahui, pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak harus sepengetahuan dan persetujuan DPR sebagai lembaga yang mewakili Wajib Pajak (rakyat) yang terkena beban pajak tersebut. Saat ini, di Indonesia masih terdapat ruang yang besar atas pendelegasian kekuasaan untuk mengatur pengenaan pajak terhadap pemerintah. Jika, nantinya DJP akan dipisahkan dari Kementerian Keuangan dan menjadi lembaga yang lebih otonom, pada siapakah pelimpahan kekuasaan tersebut harus diberikan? Apakah nantinya lembaga SARA dapat menetapkan ketentuan pengenaan pajak seperti tax base dan tax rate? Alangkah baiknya jika institusi yang menyusun ketentuan perpajakan dan institusi yang melaksanakannya harus dipisahkan.[44] Hingga derajat tertentu, lembaga baru tersebut haruslah hanya memiliki kekuasaan untuk menyusun ketentuan administrasi dan tidak boleh diberikan kekuasaan untuk pengenaan pajak. Singkatnya, lembaga administrasi model SARA tersebut dapat diimplementasikan selama prasyarat mengenai pembatasan kekuasannya harus jelas dan undang-undang mengenai pengenaan pajak sudah cukup mendetail dan tidak perlu didelegasikan kepada pemerintah. Akuntabilitas Isu berikutnya mengenai mekanisme akuntabilitas. Pengawasan atas lembaga baru tersebut diperlukan sebagai perwujudan sistem check and balance. Mekanisme ini dapat saja diciptakan baik secara internal maupun eksternal. Saat ini seluruh perangkat internal dan eksternal tersebut sebenarnya sudah ada, misalkan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) dalam tubuh DJP, hingga hadirnya Komite Pengawas Perpajakan. Walau demikian, dengan semakin besarnya sifat otonomi dalam SARA, maka dibutuhkan lembaga yang juga diberikan kekuatan untuk bisa mengontrol dan mengawasi lembaga baru tersebut. Hal ini mungkin dapat diwujudkan dengan memperkuat Komite Pengawas Perpajakan agar dapat mengkaji permasalahan serta memberikan rekomendasi yang terkait dengan prosedur administrasi ataupun kebijakan perpajakan, dan bukannya pengawasan terhadap individu yang menjalankan kebijakan perpajakan saja.[45] Anggaran Isu mengenai anggaran terletak pada dua hal: basis penentuan anggaran dan alokasi anggaran. SARA di beberapa negara mendapatkan suatu anggaran khusus yang dihitung berdasarkan proyeksi penerimaan maupun perhitungan kinerja. Pendanaan berbasis persentase dianggap memiliki manfaat terutama sebagai mekanisme yang memberikan insentif kepada otoritas pajak untuk meningkatkan penerimaan. Semakin penerimaan meningkat, maka anggaran dari otoritas pajak juga semakin meningkat.[46] Selain itu, kewenangan untuk mengalokasikan anggaran bisa dimanfaatkan secara tepat untuk perbaikan pelayanan maupun pos-pos yang dianggap dapat meningkatkan kinerja. Di Indonesia, kedua hal tersebut, sumber anggaran berbasis kinerja serta kewenangan untuk mengalokasikan anggaran lebih baik dijadikan satu paket yang tidak terpisahkan karena sifatnya yang saling memengaruhi. Sebagai contoh, jika kewenangan mengalokasikan anggaran diberikan namun anggaran berbasis kinerja tidak diberikan maka anggaran yang diberikan dapat saja dialokasikan pada hal-hal yang tidak produktif. Sebaliknya, jika anggaran berbasis kinerja diaplikasikan tanpa adanya kewenangan alokasi anggaran, maka SARA dapat saja menemui hambatan untuk dapat memenuhi target kinerja. Sebagai catatan, insentif jika mencapai suatu kinerja tertentu sebenarnya telah diatur dalam Pasal 36D (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, “Di rektorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu”. Pemberian insentif akan ditetapkan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tata caranya akan diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan.[47] Dengan demikian, ruang untuk suatu kompensasi (insentif) berbasis kinerja pun bukan suatu yang mustahil diimplementasikan di masa mendatang. | |||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Penutup Sebagai penutup, perlu diingat bahwa SARA bukanlah tujuan akhir tapi dapat menjadi sarana untuk melaksanakan reformasi dan meningkatkan kinerja. SARA memang menyediakan platform pencapaian efisiensi penyelenggaraan administrasi pajak, namun keberhasilannya belum terjamin, karena komitmen politik yang kuat diperlukan dalam pembentukan dan pelaksanaannya. Dari berbagai literatur, terdapat empat simpulan mengenai SARA. Pertama, pembentukan SARA hendaknya tidak dilihat sebagai obat mujarab yang pasti manjur. Pembentukan SARA dapat saja menciptakan biaya yang besar, waktu yang tidak sebentar, serta belum menjamin perbaikan efektivitas otoritas pajak. Kedua, sebelum mempertimbangkan salah satu desain kelembagaan administrasi pajak, ada baiknya mengidentifikasi permasalahan dan kekurangan yang berada dalam administrasi perpajakan serta mempelajari reformasi dan modernisasi dari kasus negara lain. Hal ini agar mengelaborasi sejauh mana SARA dapat menjadi jawaban permasalahan dan merupakan salah satu aspek dari reformasi perpajakan. Ketiga, komitmen politik merupakan suatu syarat penting dalam mencapai otoritas pajak yang efektif dan berkesinambungan. Terakhir, pembentukan SARA yang tidak diiringi dengan komitmen dan perencanaan matang mengenai reformasi perpajakan, tidak akan berhasil memperbaiki efektivitas sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak.[48] | ||||||||||||||||||||||||||||||
|
[2] Nicholas Kaldor, Collected Economic Essays Vol. 8: Reports on Taxation II (London: Holmes & Meier Publishers, 1980).
[3] Charles Mansfield, “Tax Administration in Developing Countries: An Economic Perspective,” IMF Working Paper No. 87/42, (1987).
[4] Matthijs Alink dan Victor van Kommer, Handbook on Tax Administration (Amsterdam: IBFD, 2011), 87.
[5] Pada dasarnya terdapat tujuh komponen utama dari administrasi perpajakan, yaitu: (i) “tax ministry” yang bertugas mengawasi, memprediksi dan menetapkan target penerimaan pajak; (ii) ”tax department” yaitu otoritas pajak pada umumnya; (iii) badan pengawas eksternal; (iv) pengadilan atau lembaga yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa pajak; (v) lembaga kepolisian atau pengadilan pidana; (vi) konsultan pajak; dan (vii) Wajib Pajak. Lihat Arindam Das-Gupta, “Implications of Tax Administration for Tax Design: A Tentative Assessment,” dalam The Challenge of Tax Reform in A Global Economy, ed. James Alm, Jorge Martinez-Vazquez, dan Mark Rider (New York, Springer, 2010), 366. Dalam tulisan ini, komponen yang disorot adalah tax department atau otoritas pajak atau badan penerimaan yang berfungsi sebagai administrator.
[6] Di beberapa literatur, sering juga disebut sebagai Revenue Authority Model ataupun Unified Semi-Autonomous Revenue Bodies.
[7] Administrasi pajak yang efektif dapat terlihat dari tingginya kepatuhan secara sukarela (voluntary compliance) di antara beragam Wajib Pajak. Lihat Pedrag Bejakovic, “Improving The Tax Administration in Transition Countries,” Institute for Public Finance Paper, 3.
[8] Christian von Haldenwang, Armin von Schiller, Melody Garcia, “Tax Collection in Developing Countries – New Evidence on Semi-Autonomous Revenue Agencies (SARAs),” (2012): 3.
[9] Tax gap didefinisikan sebagai selisih antara potensi pajak sesuai undang-undang pajak dengan pajak yang secara aktual dapat dikumpulkan. Lihat Rosario G. Manasan, “Tax Administration Reform: (Semi-) Autonomous Revenue Authority Anyone?,” Discussion Paper Series No. 2003-05, Philippine Institute for Development Studies, 4.
[10] Fuentes Quintana, "The Organization of Tax Administration in the CIAT Members Countries," CIAT Review in 1985-1986, Technical Publication of the Inter-American Center of Tax Administrators, seperti dikutip dari Glenn P. Jenkins, “Modernization of Tax Administrations: Revenue Boards and Privatization as Instruments for Change,” Bulletin for International Taxation, (1994): 75.
[11] Gagasan mengenai “tax administration is tax policy” diungkapkan pertama kali oleh Milka Casanegra de Jantscher, “Administering the VAT,” dalam Value Added Taxation in Developing Countries, ed. Malcolm Gillis, Carl S. Shoup, dan Gerardo P. Sicat (Washington: World Bank, 1990).
[12] Rosario G. Manasan, Op.Cit..
[13] Jenkins, Glen P., “Modernization of Tax Administrations: Revenue Boards and Privatization as Instruments for Change,” Bulletin for International Taxation (1994): 76.
[14] OECD, Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies (Paris: OECD Publishing, 2013), 25.
[15] Seperti diungkapkan oleh Kidd dan Crandall, “…is simply a term to describe a governance regime for an organization engaged in revenue administration that provides for more autonomy than that afforded a normal department in an ministry.”
[16] William Crandall, “Revenue Administration: Autonomy in Tax Administration and the Revenue Authority Model,” IMF, (Juni 2010): 2.
[17] William Crandall dan Maureen Kidd, “Revenue Administration: Autonomy in Tax Administration and the Revenue Authority,” IMF Technical notes and manuals, (2010): 8.
[18] Lihat Lampiran mengenai kewenangan yang didelegasikan kepada otoritas pajak di berbagai negara.
[19] Ibid, 9.
[20] Wawancara dengan Prof. Jorge Martinez-Vazquez, 16 Agustus 2013.
[21] Simon Delay, Nick Devas, dan Michael Hubbard, “Reforming Revenue Administration: Lessons from Experience – A study for the International Development Department,” School of Public Policy, University of Birmingham, (Mei 1999).
[22] Administrasi pajak yang efektif dapat terlihat dari tingginya kepatuhan secara sukarela (voluntary compliance) di antara beragam Wajib Pajak. Lihat Bejakovic, Predrag, Op.Cit., 3.
[23] Christian von Haldenwang, Armin von Schiller, Melody Garciai, Op.Cit., 5.
[24] Arthur Mann, “Are Semi-Autonomous Revenue Authorities the Answer to Tax Administration Problems in Developing Countries? A Practical Guide,” (2004): 1.
[25] B. Bawono Kristiaji, "Implikasi Shadow Economy dan Efektivitas Pemerintahan terhadap Realisasi dan Upaya Mengoptimalkan Penerimaan Pajak," Tesis, tidak dipublikasikan. Universitas Indonesia, 2013.
[26] Arthur Mann, Op.Cit., 2.
[27] Misalkan saja, survei yang dilakukan oleh IRAS di tahun 2011 yang menunjukkan adanya kepuasan pelayanan pajak yang mencapai 95%. Pada tahun 1992, otoritas pajak Singapura berubah bentuk dari Inland Revenue Department (IRD) menjadi Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). Pembentukan IRAS lebih didasarkan oleh suatu fleksibilitas untuk mengelola sumber daya manusia dan keuangan agar lebih dapat memperbaiki pelayanan dalam area perpajakan. Lihat Asian Development Bank. “Institutional Arrangements for Tax Administration in Asia and the Pacific,” ADB Governance Brief Issue 19, (2012): 6.
[28] Rosario G. Manasan, Op.Cit., 4.
[29] Arthur Mann, Op.Cit., 5
[30] Arthur Mann, Op.Cit.,7.
[31] Mukul G. Asher, “Tax Reform in Singapore,” ASIA Research Centre Working Paper No. 91, Perth: Murdoch University (Maret 1999): 15.
[32] Arthur Mann, Op.Cit.,14
[33] Sedangkan pemungutan bea dilakukan oleh badan semi-otonom tersendiri bernama SUNAD (yang kemudian berganti singkatan menjadi ADUANAS). Baru pada tahun 2002 secara hukum ADUANAS diintegrasikan ke dalam SUNAT. Proses integrasi ADUANAS sendiri baru dilaksanakan pada pertengahan tahun 2004.
[34] Produktivitas PPN diperoleh dari perbandingan jumlah pemungutan PPN dengan konsumsi Nasional bersih dibagi tarif PPN.
[35] Penelitian oleh Taliercio (2000) seperti dikutip oleh Rosario G. Manasan Op.Cit., 5-6.
[36] Survei dilakukan atas Wajib Pajak perusahaan-perusahaan besar (WP besar), konsultan pajak profesional, sektor swasta dan organisasi profesional yang peduli terhadap masalah-masalah perpajakan.
[37] Detikfinance. “Dirjen Pajak: Dalam 11 Tahun Terakhir, Baru 2 Kali Target Pajak Tercapai,” 17 Juni 2013. Dapat diakses pada http://finance.detik.com/read/2013/06/17/112636/2275307/4/dirjen-pajak-dalam-11-tahun-terakhir-baru-2-kali-target-pajak-tercapai.
[38] Lihat Robert Taliercio Jr. “Designing Performance: The Semi-Autonomous Revenue Authority Model in Africa and Latin America,” World Bank Policy Research Working Paper 3423, (2004).
[39] Herry Setyawan, “Pajak dan Badan Penerimaan Negara,” Kontan, 28 Februari 2012.
[40] Sebagai contoh, Hungaria (di tahun 2011) dan Portugal (di tahun 2012) telah menggabungkan seluruh unit yang terkait dengan penerimaan negara ke dalam satu badan khusus. Negara-negara tersebut meningkatkan otonomi otoritas pajaknya dan menggabungkan administrasi pajak dengan bea cukai dalam satu badan, lihat OECD, OECD Tax Administration 2013: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies (Paris: OECD Publishing, 2013), 13.
[41] Presiden Caldera memperbolehkan intervensi dari Kementerian Keuangan terhadap manajemen sumber daya manusia dalam otoritas pajaknya. Lihat Rosario G. Manasan ,“Tax Administration Reform:(Semi-) Autonomous Revenue Authority Anyone?”, Discussion Paper Series No. 2003-05 (Revised), Philippine Institute for Development Studies, 4
[42] Phillipe Vitu, “Fiscal Constutionalism and the Basic of Law”, Asia Pacific Tax Bulletin, 1999, 407.
[43] Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2006. 2
[44] Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2006. 10.
[45] Lihat Darussalam, “Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Komite Pengawas Perpajakan,” 2010. Dapat diakses pada http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=43&q=&hlm=1
[46] Robert Taliercio Jr. “Designing Performance: The Semi-Autonomous Revenue Authority Model in Africa and Latin America,” World Bank Policy Research Working Paper 3423, (2004): 8.
[47] Hal ini diatur dalam Pasal 36D (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
[48] Crandall, William, dan Maureen Kidd, “Revenue Administration: A Toolkit for Implementing A Revenue Authority,” IMF Technical Notes and Manuals, (April 2010).